Prosedur Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) Lengkap

Model pembelajaran problem based learning (pembelajaran berbasis masalah), awalnya dirancang untuk program graduate bidang kesehatan oleh Barrows, Howard (1986) yang kemudian diadaptasi dalam bidang pendidikan oleh Gallagher (1995). Problem based learning disetting dalam bentuk pembelajaran yang diawali dengan sebuah masalah dengan menggunakan instruktur sebagai pelatihan meta kognitif dan diakhiri dengan penyajian dan analisis kerja siswa atau baca Cara Menciptakan Kelas Konstruktivistik.


Model pembelajaran problem based learning berlandaskan pada psikologi kognitif, sehingga fokus pengajaran tidak begitu banyak pada apa yang sedang dilakukan siswa, melainkan kepada apa yang sedang mereka pikirkan pada saat mereka melakukan kegiatan itu. Pada problem based learning peran guru lebih berperan sebagai pembimbing dan fasilitator sehingga siswa belajar berpikir dan memecahkan masalah mereka sendiri. Belajar berbasis masalah menemukan akar intelektualnya pada penelitian John Dewey (Ibrahim, 2000). 

Pedagogi Jhon Dewey menganjurkan guru untuk mendorong siswa terlibat dalam proyek atau tugas yang berorientasi masalah dan membentuk mereka menyelidiki masalah-masalah tersebut. Pembelajaran yang berdayaguna atau berpusat pada masalah digerakkan oleh keinginan bawaan siswa untuk menyelidiki secara pribadi situasi yang bermakna merupakan hubungan problem based learning dengan psikologi Dewey. 

Selain Dewey, ahli psikologi Eropa Jean Piaget tokoh pengembang konsep konstruktivisme telah memberikan dukungannya. Pandangan konstruktivisme- kognitif yang didasari atas teori Piaget menyatakan bahwa siswa dalam segala usianya secara aktif terlibat dalam proses perolehan informasi dan membangun pengetahuannya sendiri (Ibrahim, 2000).

Adaptasi struktur problem based learning dalam kelas-kelas sains dilakukan dengan menjamin penerapan beberapa komponen penting dari sains. 

Empat penerapan esensial dari problem based learning adalah seperti diurutkan dalam Gallagher et.al (1995) adalah:
1)      Orientasi siswa pada masalah
Pada saat mulai pembelajaran, guru menyampaikan tujuan pembelajaran secara jelas, menumbuhkan sikap positif terhadap pelajaran. 

Guru menyampaikan bahwa perlu adanya elaborasi tentang hal-hal sebagai berikut:
-      Tujuan utama dari pembelajaran adalah tidak untuk mempelajari sejumlah informasi baru, namun lebih kepada bagaimana menyelidiki masalah-masalah penting dan bagaimana menjadikan pembelajar yang mandiri.
-      Permasalahan yang diselidiki tidak memiliki jawaban mutlak ”benar”. Sebuah penyelesaian yang kompleks memiliki banyak penyelesaian yang terkadang bertentangan.
-      Selama tahap penyelidikan dalam pembelajaran, siswa didorong untuk mengajukan pertanyaan dan mencari informasi dengan bimbingan guru.
-      Pada tahap analisis dan penyelesaian masalah siswa didorong untuk menyampaikan idenya secara terbuka.

Guru perlu menyajikan masalah dengan hati-hati dengan prosedur yang jelas untuk melibatkan siswa dalam identifikasi. Hal penting di sini adalah orientasi kepada situasi masalah menentukan tahap untuk penyelidikan selanjutnya. Oleh karena itu pada tahap ini presentasi harus menarik minat siswa dan menimbulkan rasa ingin tahu.

2)      Mengorganisasikan siswa untuk belajar
Problem based learning membutuhkan keterampilan kolaborasi diantara siswa menurut mereka untuk menyelidiki masalah secara bersama. Oleh karena itu mereka juga membutuhkan bantuan untuk merencanakan penyelidikan dan tugas-tugas belajarnya.

Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar kooperatif juga berlaku untuk mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok problem based learning. Intinya di sini adalah guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah yang akan dipecahkan.

3)      Membantu penyelidikan siswa
Pada tahap ini guru mendorong siswa untuk mengumpulkan data-data atau melaksanakan eksperimen sampai mereka betul-betul memahami dimensi dari masalah tersebut. Tujuannya agar siswa mengumpulkan cukup informasi untuk membangun ide mereka sendiri. Siswa akan membutuhkan untuk diajarkan bagaimana menjadi penyelidik yang aktif dan bagaimana menggunakan metode yang sesuai untuk masalah yang sedang dipelajari.

Setelah siswa mengumpulkan cukup data mereka akan mulai menawarkan penjelasan dalam bentuk hipotesis, penjelasan dan pemecahan. Selama tahap ini guru mendorong semua ide dan menerima sepenuhnya ide tersebut.

4)      Mengembangkan dan menyajikan hasil karya
Pada tahap ini guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan hasil karya yang akan disajikan. Masing-masing kelompok menyajikan hasil pemecahan masalah yang diperoleh dalam suatu diskusi. Penyajian hasil karya ini dapat berupa laporan, poster maupun media-media yang lain.

5)      Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
Tahap akhir ini meliputi aktivitas yang dimaksudkan untuk membantu siswa menganalisis dan mengevaluasi proses berpikir mereka sendiri dan disamping itu juga mengevaluasi keterampilan penyelidikan dan keterampilan intelektual yang telah mereka gunakan.

Selanjutnya beberapa ciri penting problem based learning sebagai berikut (Brook & Martin, 1993).
Tujuan Pembelajaran
Tujuan pembelajaran dirancang untuk dapat merangsang dan melibatkan siswa dalam pola pemecahan masalah. Kondisi ini akan dapat mengembangkan keahlian belajar dalam bidangnya secara langsung dalam mengidentifikasi permasalahan. Dalam konteks belajar kognitif sejumlah tujuan yang terkait adalah belajar langsung dan mandiri, pengetahuan dan pemecahan masalah. Sehingga untuk mencapai keberhasilan, para siswa harus mengembangkan keahlian belajar dan mampu mengembangkan strategi dalam mengidentifikasi dan menemukan permasalahan belajar, evaluasi dan juga belajar dari berbagai sumber yang relevan.

Keberlanjutan masalah
Dalam hal ini ada dua hal yang harus terpenuhi. Pertama, harus dapat memunculkan konsep-konsep atau prinsip-prinsip yang relevan dengan content domain yang dibahas. Kedua, permasalahan hendaknya riil sehingga memungkinkan terjadinya kesamaan pandang antarsiswa. Ada tiga alasan kenapa permasalahan harus nyata (realistik). (1) Siswa terkadang terbuka untuk meneliti semua dimensi dari permasalahan sehingga dapat mengalami kesulitan dalam menciptakan suatu permasalahan yang luas dengan informasi yang sesuai. (2) Permasalahan nyata cenderung untuk lebih melibatkan siswa terhadap suatu konteks tentang kesamaan dengan permasalahan. (3) Siswa segera ingin tahu hasil akhir dari penyelesaian masalahnya.

 Adanya presentasi permasalahan
Pebelajar dilibatkan dalam mempresentasikan permasalahan sehingga mereka merasa memiliki permasalahan tersebut. Ada dua hal pokok dalam mempresentasikan permasalahan. Pertama, jika siswa dilibatkan dalam pemecahan masalah yang autentik, maka mereka harus memiliki permasalahan tersebut. Kedua, adalah bahwa data yang ditampilkan dalam presentasi permasalahan tidak menyoroti faktor-faktor utama dalam masalah tersebut, namun dapat ditampilkan sebagai dasar pertanyaan sehingga tidak menampilkan informasi kunci

Peran guru sebagai tutor dan fasilitator
Dalam hal ini peran guru sebagai fasilitator adalah mengembangkan kreativitas berpikir siswa dalam bentuk keahlian dalam pemecahan masalah dan membantu siswa untuk menjadi mandiri. Kemampuan dari tutor sebagai fasilitator keterampilan mengajar kelompok kecil dam proses pembelajaran merupakan penentu utama dari kualitas dan keberhasilan. 

Setiap metode pendidikan bertujuan: (1) Mengembangkan kreativitas pada siswa dan keahlian berpendapat. (2) Membantu mereka untuk menjadi mandiri. Sedangkan tutorial adalah suatu penggunaan keahlian yang menitikberatkan masalah dasar belajar langsung mandiri (Barrows dalam Savery & Duffy, 1994).

Barrows (1996) dalam tulisannya yang berjudul Problem Based Learning in Medicine and Beyond juga mengemukakan beberapa karakteristik Problem Based Learning sebagai berikut:
1)    Proses pembelajaran bersifat Student Centered. Melalui bimbingan tutor (guru), siswa harus bertanggung jawab atas pembelajaran dirinya, mengidentifikasi apa yang mereka perlu ketahui untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik, mengelola permasalahan dan menentukan di mana mereka akan memperoleh informasi (buku teks, jurnal, internet, dsb).

2)    Proses pembelajaran pembelajaran berlangsung pada kelompok kecil. Setiap kelompok biasanya terdiri dari 5-8 orang. Anggota kelompok sebaiknya ditukar untuk setiap unit kurikulum. Kondisi demikian akan memberikan kondisi praktis kepada siswa untuk bekerja dan belajar secara lebih intensif dan efektif dalam variasi kelompok.

3)    Guru berperan sebagai fasilitator atau pembimbing. Dalam hal ini guru tidak berperan sebagai penceramah atau pemberi faktual, namun berperan sebagai fasilitator. Guru tidak memberitahu siswa tentang apa yang mereka harus pelajari atau baca. Siswa itu sendirilah (secara berkelompok) yang mengidentifikasi dan menentukan konsep-konsep atau prinsip-prinsip apa yang harus mereka pelajari dan mereka pahami agar mampu memecahkan masalah yang telah disajikan guru pada awal setting pembelajaran.

4)    Permasalahan-permasalahan yang disajikan dalam setting pembelajaran di organisasi dalam bentuk dan fokus tertentu dan merupakan rangsangan pembelajaran. Misalnya, masalah pasien atau kesehatan masyarakat disajikan dalam berbagai bentuk seperti kasus tertulis, simulasi pasien, simulasi komputer atau video. Kondisi demikian akan menantang dan menghadapkan siswa dalam kondisi praktis serta akan memberi motivasi siswa untuk belajar. Untuk memecahkan masalah tersebut, siswa akan merealisasikan apa yang perlu mereka pelajari dari ilmu-ilmu dasar serta akan mengarahkan mereka untuk mengintegrasikan informasi-informasi dari berbagai disiplin ilmu.

5)    Informasi baru diperoleh melalui belajar secara mandiri (self directed learning). Siswa diharapkan belajar dari dunia pengetahuan dan mengakumulasikan keahliannya melalui belajar mandiri, serta dapat berbuat seperti praktisi yang sesungguhnya. Selama proses belajar secara mandiri, siswa bekerja bersama dalam kelompok, berdiskusi, melakukan komparasi, mereview serta berdebat tentang apa yang sudah mereka pelajari.

6)      Masalah merupakan wahana untuk mengembangkan keterampilan pemecahan masalah klinik. Format permasalahan hendaknya mempresentasikan permasalahan pasien sesuai dengan dunia realita. Format permasalahan juga harus memberi kepada siswa untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada pasien, melakukan tes fisik, tes laboratorium dan tuntutan lainnya.

Langkah-langkah yang perlu diperhatikan dalam merancang program pengajaran yang berorientasi pada problem based learning sehingga proses pembelajaran benar-benar berpusat pada siswa (student centered) adalah sebagai berikut (Gallagher & Stepien, 1995):
1)      Fokuskan permasalahan (problem) sekitar pembelajaran konsep-konsep esensial yang strategis. Gunakan permasalahan dan konsep untuk membantu siswa melakukan investigasi substansi isi (content).

2)      Berikan kesempatan kepada siswa untuk mengevaluasi gagasannya melalui eksperimen atau studi lapangan. Siswa akan menggali data-data yang diperlukan untuk memecahkan masalah yang dihadapinya.

3)      Berikan kesempatan kepada siswa untuk mengelola data yang mereka miliki yang merupakan proses meta kognisi.

4)      Berikan kesempatan kepada siswa untuk mempresentasikan solusi-solusi yang mereka kemukakan. Penyajian dapat dilakukan dalam bentuk seminar atau publikasi atau dalam bentuk penyajian poster.

Prosedur dan tahapan pelaksanaan proses pembelajaran problem based learning adalah sebagai berikut (dimodifikasi dari Barrows and Myers, 1993).
PENDAHULUAN
  1. Penyampaian tujuan pembelajaran
  2. Apersepsi
SETTING PERMASALAHAN
  1. Penyampaian masalah
  2. Internalisasi masalah oleh siswa
  3. Menggambarkan hasil/performan yang diperlukan
  4. Pemberian tugas-tugas meliputi (pengajuan hipotesis, pengumpulan fakta, mensintesa informasi yang tersedia melalui kegiatan inkuiri, membuat catatan yang diperlukan, merancang kegiatan/penyelidikan yang berkaitan upaya pemecahan masalah)
  5. Pemberian alasan terhadap permasalahan
  6. Identifikasi sumber-sumber pembelajaran
  7. Penjadwalan tindak lanjut
PRESENTASI
  1. Penyajian pemecahan masalah
  2. Diskusi
AKHIR KEGIATAN
  1. Memiliki pengetahuan
  2. Penilaian diri melalui hasil diskusi
Sebagai model pembelajaran problem based learning disamping memiliki keunggulan juga memiliki kelemahan. Wina Sanjaya (2006: 218) menyatakan keunggulan problem based learning adalah:
  1. Pemecahan masalah merupakan teknik yang cukup bagus untuk lebih memahami isi pelajaran.
  2. Pemecahan masalah dapat menantang kemampuan siswa serta memberikan kepuasan untuk menemukan pengetahuan baru bagi siswa.
  3. Pemecahan masalah dapat meningkatkan aktivitas pembelajaran siswa.
  4. Pemecahan masalah dapat membantu siswa bagaimana mentransfer pengetahuan untuk memahami masalah dalam kehidupan nyata.
  5. Pemecahan masalah dapat membantu siswa untuk mengembangkan pengetahuan barunya dan bertanggung jawab dalam pembelajaran yang mereka lakukan. Disamping juga dapat mendorong untuk melakukan siendiri baik terhadap hasil maupun proses belajarnya.
  6. Melalui pemecahan masalah bisa diperlihatkan bahwa setiap mata pelajaran pada dasarnya merupakan cara berpikir dan sesuatu yang dimengerti oleh siswa bukan hanya sekedar belajar dari guru atau dari buku saja.
  7. Pemecahan masalah dipandang lebih mengasikkan dan disukai siswa.
  8. Pemecahan masalah dapat mengembangkan kemampuan siswa untuk berpikir kritis dan mengembangkan kemampuan mereka untuk menyesuaikan pengetahuan baru.
  9. Pemecahan masalah dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengaplikasikan pengetahuan yang telah mereka miliki dalam dunia nyata.
  10. Pemecahan masalah dapat mengembangkan minat siswa untuk secara terus-menerus belajar sekalipun belajar pada pendidikan formal telah berakhir.
Sedangkan kelemahannya adalah:
  1. Manakala siswa tidak memiliki minat atau tidak memiliki kepercayaan sehingga masalah yang dipelajari sulit dipecahkan maka siswa akan merasa enggan untuk mencoba.
  2. Keberhasilan pembelajaran ini membutuhkan cukup banyak waktu.
  3. Tanpa pemahaman mengapa mereka berusaha memecahkan masalah yang sedang dipelajari, maka siswa tidak akan belajar apa yang mereka ingin pelajari.
Belajar berbasis masalah berakar dari pandangan John Dewey, yang menyatakan bahwa sekolah mestinya mencerminkan masyarakat yang lebih besar dan kelas merupakan laboratorium untuk memecahkan masalah kehidupan nyata. 

Pandangan ini mengharuskan guru untuk mendorong siswa terlibat dalam proyek atau tugas berorientasi masalah dan membantu mereka menyelidiki masalah-masalah intelektual dan sosial. Pembelajaran di sekolah seharusnya lebih memiliki manfaat nyata daripada abstrak. Pembelajaran yang memiliki manfaat terbaik dapat dilakukan oleh siswa dalam kelompok-kelompok kecil untuk menyelesaikan proyek yang menarik yang merupakan pilihan mereka sendiri. 

Visi pembelajaran yang berdayaguna atau terpusat pada masalah digerakkan oleh keinginan siswa untuk menyelidiki secara  pribadi masalah tersebut. Hal ini secara jelas menghubungkan BBM dengan filosofi pendidikan dan pedagogi Dewey.

BBM juga dikembangkan dari konsep konstruktivisme atas dasar pandangan Jean Piaget dan Lev Vygotsky. Piaget menegaskan bahwa anak memiliki rasa ingin tahu bawaan dan secara terus menerus berusaha ingin memahami dunia di sekitarnya. 

Rasa ingin tahu ini, menurut Piaget dapat memotivasi mereka untuk secara aktif membangun tampilan dalam otak mereka mengenai lingkungan yang mereka hayati. Pada saat mereka tumbuh semakin dewasa dan memperoleh lebih banyak kemampuan bahasa dan memori, tampilan mental mereka tentang dunia menjadi lebih luas dan lebih abstrak. 

Sementara itu, pada semua tahap perkembangan, anak perlu memahami lingkungan mereka dan memotivasinya untuk menyelidiki dan membangun teori-teori yang menjelaskan lingkungan itu.
Pandangan ini lebih lanjut mengemukakan bahwa siswa dalam segala usia secara aktif terlibat dalam proses perolehan informasi dan membangun pengetahuan mereka sendiri. 

Pengetahuan tidak statis namun secara terus menerus tumbuh dan berubah pada saat siswa menghadapi pengalaman baru yang memaksa mereka membangun dan memodifikasi pengetahuan awal mereka. Menurut Piaget, pedagogi yang baik harus melibatkan anak dengan situasi-situasi dimana anak itu secara mandiri melakukan eksperimen, dalam arti mencoba segala sesuatu untuk melihat apa yang terjadi, memanipulasi tanda-tanda, memanipulasi simbol, mengajukan pertanyaan dan menemukan sendiri jawabannya, mencocokkan apa yang mereka temukan pada suatu saat dengan apa yang ia temukan pada saat yang lain dan membandingkan temuannya dengan temuan anak lain (dalam Ibrahim dan Nur, 2000).

Di pihak lain, Lev Vygostsky percaya bahwa perkembangan intelektual terjadi pada saat individu berhadapan dengan pengalaman baru yang menantang dan ketika mereka berusaha untuk memecahkan masalah yang dimunculkan oleh pengalaman. 

Dalam upaya mendapatkan pemahaman, individu mengkaitkan pengetahuan baru dengan pengetahuan lama yang telah dimilikinya untuk membangun pengertian baru. Vygotsky memberi tempat yang lebih penting pada aspek sosial pembelajaran. Vygotsky percaya bahwa mereka interaksi sosial dengan teman lain memacu terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual siswa.

Pada dasarnya, baik Piaget maupun Vigotsky, sama-sama mengembangkan konstruktivisme psikologis. Namun demikian, Piaget lebih menekankan pada konstruktivisme psikologis yang bersifat personal, sedangkan Vigotskty lebih menekankan pada kontruktivisme psikologis yang bersifat sosial (Suparno, 1997: 43). Kedua konsep konstruktivisme tersebut menjadi landasan pokok model Belajar Berdasarkan Masalah.

BBM juga berlandaskan pada social leraning theory Albert Bandura, yang fokus pada pembelajaran dalam konteks sosial (social context). Teori ini menyatakan bahwa seorang belajar dari orang lain, termasuk konsep dari belajar observasional, imination dan modeling

Prinsip umum dari social learning theory selengkapnya dinyatakan oleh Armrod (1999) sebagai berikut:
General principles of social learning theory follows:
  1. People  can learn by observing the behavior is of others and the autcomes of those behaviors.
  2. Learning can occur without a change in behavior. Behaciorists say that learning has to be represented by a permanent change in behavior, in contrast social learning theorists say that because people can learn thourg observation alone, their learning may not necessarily be shown in their performance. Learning may or may not result in a behavior change.
  3. Cognition plays a role in learning. Over the last 30 years social learning theory has become increasingly cognitive in its interpretation of human learning. Awareness and expectation of future reinforcements or punishments can have a major effect on the behaviors that people exhibit.
  4. Social learning theory can be considered a bridge or a transition between behaviorist learning theories and cognitive learning theories.

Belajar Berbasis Masalah didukung pula oleh teorinya Jerome Bruner yang dikenal dengan pembelajaran penemuan. Belajar penemuan ini merupakan suatu model pembelajaran yang menekankan pentingnya membantu siswa memahami struktur atau ide kunci dari suatu disiplin ilmu, perlunya siswa aktif terlibat dalam proses pembelajaran dan pembelajaran yang sebenarnya terjadi melalui penemuan pribadi. 

Tujuan pendidikan tidak hanya meningkatkan banyaknya pengetahuan siswa tetapi juga menciptakan kemungkinan-kemungkinan untuk penemuan siswa. Pembelajaran penemuan diterapkan dengan menekankan penalaran induktif dan proses-proses inkuiri yang merupakan ciri dari metode ilmiah. Belajar berdasarkan masalah pada intinya adalah melakukan proses inkuiri tersebut.

Demikian Tulisan ini semoga bermanfaat