Kurikulum PTAI memang perlu
dirombak. Perlu pembaharuan dan penyesuaian. Bukan karena latah (ikut-ikutan,
Jawa.) karena saat ini sedang hangat-hangatnya penerapan Kurikulum 2013.
Perombakan kurikulum PTAI lebih disebabkan karena kebutuhan internal dan
tantangan eksternal yang berubah sangat dinamis. PTAI tidak bisa menjadi menara
gading yang lepas dari ‘dunia luar’. PTAI adalah bagian dari institusi sosial
(social institutions) yang saling memengaruhi satu sama lain. Perubahan pada
satu institusi, misalnya perkembangan politik atau ekonomi mengakibatkan
perubahan pada institusi pendidikan. PTAI juga merupakan bagian komunitas dunia
yang terus bergerak. Globalisasi berikut dampak iringannya (nurturant effect)
sedikit banyak ‘menggoyang’ pertahanan PTAI. Pada aras inilah perombakan
kurikulum menemukan titik terangnya.
Kurikulum memang bukan satu-satunya
faktor pendidikan. Ada komponen pendidik/dosen, mahasiswa, materi pembelajaran,
metodologi, sumber belajar, dan komponen lainnya. Kurikulum juga hanyalah tools
untuk mencapai tujuan yang lebih besar, yakni tujuan pendidikan itu sendiri.
Namun, pentingnya updating atau perombakan kurikulum karena melalui tools
inilah proses-proses pendidikan dapat dinilai, dievaluasi, diukur, difahami,
dicandera, direvisi jika perlu, atau diperbaiki.
Seperti dikemukakan Habib Chirzin, mantan President at Forum on Peace, Human Security and Development Studies yang berkedudukan di Yogyakarta, saat mengomentari postingan saya di Facebook beberapa hari lalu, “kurikulum merupakan masalah yang sangat fundamental bagi dunia pendidikan, khususnya Perguruan Tinggi”. Pak Habib Chirzin benar.
Setelah mengamati dan terjun langsung ke beberapa PTAI untuk mendampingi penyusunan kurikulum program studi, saya berkesimpulan bahwa mendesak segera dilakukan pembaharuan kurikulum semua program studi di PTAI untuk mengimbangi perkembangan ilmu, teknologi, seni, budaya, agama, politik, ekonomi, dan perubahan global yang sangat dinamis. Sudah lama kurikulum PTAI tidak di-update, jangan sampai hanya mengkonservasi ilmu agama yang sesungguhnya ketinggalan jaman alias kedaluarsa.
Seperti dikemukakan Habib Chirzin, mantan President at Forum on Peace, Human Security and Development Studies yang berkedudukan di Yogyakarta, saat mengomentari postingan saya di Facebook beberapa hari lalu, “kurikulum merupakan masalah yang sangat fundamental bagi dunia pendidikan, khususnya Perguruan Tinggi”. Pak Habib Chirzin benar.
Setelah mengamati dan terjun langsung ke beberapa PTAI untuk mendampingi penyusunan kurikulum program studi, saya berkesimpulan bahwa mendesak segera dilakukan pembaharuan kurikulum semua program studi di PTAI untuk mengimbangi perkembangan ilmu, teknologi, seni, budaya, agama, politik, ekonomi, dan perubahan global yang sangat dinamis. Sudah lama kurikulum PTAI tidak di-update, jangan sampai hanya mengkonservasi ilmu agama yang sesungguhnya ketinggalan jaman alias kedaluarsa.
Pernyataan ini diamini oleh Prof.
Imam Suprayogo, mantan Rektor UIN Maliki Malang terlama (4 periode beliau
memimpin STAIN yang kemudian bertransformasi menjadi UIN Malang) yang
menyatakan “segera dilakukan pembaharuan kurikulum, termasuk cara pandang
tentang Islam”. Pernyataan Prof. Imam yang juga berkomentar dalam postingan
Facebook saya, menekankan makna Islam ini tepat karena main mandate dan core
business PTAI adalah sebagai pusat kajian dan pengembangan ilmu-ilmu keislaman.
Nilai dan ajaran Islam seperti apa yang akan disampaikan melalui pembelajaran di PTAI, dan itu tercermin pada kurikulumnya, sangat menentukan seberapa pemahaman tentang Islam itu diejawantahkan dalam pembelajaran dan menjadi spirit perguruan tinggi. Lebih lanjut Guru Besar UIN Malang itu mengungkapkan, “Lewat kurikulum (PTAI) yg ada selama ini, Islam hanya dilihat dari perspektif syari’ah, ushuluddin, dakwah, tarbiyah, atau dari fiqh, tauhid, akhlak, dan tasawwuf terasa sudah tidak memadai lagi”.
Dengan kenyataan ini, “Islam akhirnya dikesankan menjadi ajaran yang sempit. Padahal semestinya, Islam juga menyangkut aspek-aspek pendidikan yg luas, seluas kehidupan itu sendiri”, tegasnya.
Nilai dan ajaran Islam seperti apa yang akan disampaikan melalui pembelajaran di PTAI, dan itu tercermin pada kurikulumnya, sangat menentukan seberapa pemahaman tentang Islam itu diejawantahkan dalam pembelajaran dan menjadi spirit perguruan tinggi. Lebih lanjut Guru Besar UIN Malang itu mengungkapkan, “Lewat kurikulum (PTAI) yg ada selama ini, Islam hanya dilihat dari perspektif syari’ah, ushuluddin, dakwah, tarbiyah, atau dari fiqh, tauhid, akhlak, dan tasawwuf terasa sudah tidak memadai lagi”.
Dengan kenyataan ini, “Islam akhirnya dikesankan menjadi ajaran yang sempit. Padahal semestinya, Islam juga menyangkut aspek-aspek pendidikan yg luas, seluas kehidupan itu sendiri”, tegasnya.
Sebenarnya, kesempatan memperbaiki
kurikulum di semua satuan pendidikan –tak terkecuali perguruan tinggi-- ada
pada saat KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), dan sebelumnya KBK
(Kurikulum Berbasis Kompetensi), diberlakukan. Akan tetapi, berdasarkan
pengamatan saya selama ini, KTSP maupun KBK tidak berjalan dengan baik, dan
tidak dimanfaatkan oleh PTAI untuk menyesuaikan program studi yang dibuka
dengan kebutuhan yang diperlukan, misalnya kebutuhan users dan stakeholder.
Hampir sejak KBK dikenalkan, secara umum di PTAI nyaris absen dari perombakan
dan review kurikulum secara total. Kurikulum PTAI masih seperti yang dulu, plus
sedikit modifikasi sana-sini.
Berdasarkan pengalaman, bukan teoritik, ada beberapa langkah praktis perombakan kurikulum yang dapat dilakukan di PTAI. Level pertama dan tersulit, perumusan visi dan misi yang jelas lalu diikuti rumusan tujuan dan indikator yang dapat dicapai. Langkah ini memerlukan waktu lama dan melibatkan banyak pihak (internal, eksternal: stakeholders/users), dan biasanya tidak sabaran dengan proses ini.
Karena banyak hal yang mesti dipertimbangkan. Banyak pula pendapat yang perlu diakomodir. Sehingga banyak visi dan misi dirumuskan ‘hanya kata-kata’ tapi kehilangan ruh. “Mudah dibaca, tapi tidak perlu”. Merumuskan visi dan misi ini memang gampang-gampang susah. Karena perlu sedikit mengernyitkan kening, kebanyakan lembaga akhirnya mengambil jalan pintas: rumuskan saja, yang penting ada.
Langkah berikutnya, menetapkan profil lulusan dan kompetensi lulusan. Profil lulusan menjawab pertanyaan: jadi apa lulusan PTAI? Sedangkan kompetensi lulusan, menjawab pertanyaan: bisa apa mahasiswa? Program studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, misalnya bisa membaca, menerjemahkan, dan memahami al-Qur’an dak kaidah penafsirannya.
Lulusan Prodi ini bisa menjadi penafsir, penerjemah, pengajar, penulis al-Qur’an, atau pelatih studi al-Qur’an. Dengan rumusan ini akan mudah memandu struktur kurikulum, kebutuhan mata kuliah, dan substansi ajar apa yang diperlukan mahasiswa, serta bagaimana silabus masing-masing mata kuiah itu.
Dengan pola ini, penetapan mata kuliah bukan karena common sense penyelenggara atau ketua prodi, misalnya, tetapi betul-betul berdasarkan pada kebutuhan kompetensi dan profil yang diinginkan setiap prodi. Sekali lagi, pengalaman praktis yang saya peroleh, banyak prodi di PTAI yang menetapkan mata kuliah bukan karena pertimbangan kompetensi itu melainkan karena ‘ada dosen’-nya. Kenapa muncul mata kuliah tafsir tarbawi, manajemen syariah, politik ekonomi misalnya karena common sense saja atau sudah dianggap given dari tahun ke tahun dan ada dosen yang mengampu.
Penyusunan profil dan kompetensi
lulusan itu semakin menemukan signifikansinya jika dikaitkan dengan Perpres 8
tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI). Sebagaimana
disebut pada pasal 1, KKNI didefinisikan sebagai “kerangka penjenjangan
kualifikasi kompetensi yang dapat menyandingkan, menyetarakan, dan
mengintegrasikan antara bidang pendidikan dan bidang pelatihan kerja serta
pengalaman kerja dalam rangka pemberian pengakuan kompetensi kerja sesuai
dengan struktur pekerjaan di berbagai sektor”.
Dalam konteks ini, Direktorat sudah menyiapkan naskah/dokumen penyusunan kurikulum yang mengadopsi dan menyesuaikan dengan KKNI ini. Penyetaraan hasil pendidikan dengan kompetensi tertentu dan dunia kerja karena selama ini ada kesenjangan yang mencolok dari keluaran pendidikan (terutama pendidikan akademik) dengan kebutuhan/struktur kerja yang tersedia di masyarakat. Dengan kualifikasi terdiri atas 9 (sembilan) jenjang, penyetaraan capaian pembelajaran setingkat diploma dan sarjana bergerak pada jenjang 4 - 6, yang dikelompokkan dalam jabatan teknisi atau analis.
Penyetaraan kompetensi hasil pendidikan dengan struktur kerja pada bidang keagamaan agak rumit dibandingkan dengan bidang eksak atau prodi sosial di perguruan tinggi umum, yang memiliki struktur keilmuan yang mudah disetarakan. Bidang keagamaan yang selama ini dilaksanakan di PTAI seperti tafsir, hadits, filsafat Islam, akidah, SKI, dan bimbingan masyarakat Islam menghadapi problem dengan struktur kerja yang tak tersedia secara otomatis di masyarakat.
Secara umum lulusan PTAI menghadapi deviasi dan keluar dari rel yang semestinya dengan prodi yang diambil pada saat kuliah, atau dikenal dengan istilah untended consequences. Lulusan prodi KPI (Komunikasi Penyiaran Islam) seharusnya menjadi da’i, tetapi kenyataannya menjadi aktivis LSM, wartawan, atau guru sekolah. Lulusan prodi tafsir/hadits semestinya menjadi mufassir muda, tapi banyak di antara mereka yang keluar dari intended dengan menjadi penyiar radio, penceramah televisi, atau pembimbing haji dan umroh. Meski keadaan ini bukan khas alumni PTAI, karena di PTU menghadapi persoalan yang sama misalnya alumni IPB menjadi bankir, lulusan ITB menjadi wartawan atau aktivis lingkungan hidup.
Dalam konteks ini, Direktorat sudah menyiapkan naskah/dokumen penyusunan kurikulum yang mengadopsi dan menyesuaikan dengan KKNI ini. Penyetaraan hasil pendidikan dengan kompetensi tertentu dan dunia kerja karena selama ini ada kesenjangan yang mencolok dari keluaran pendidikan (terutama pendidikan akademik) dengan kebutuhan/struktur kerja yang tersedia di masyarakat. Dengan kualifikasi terdiri atas 9 (sembilan) jenjang, penyetaraan capaian pembelajaran setingkat diploma dan sarjana bergerak pada jenjang 4 - 6, yang dikelompokkan dalam jabatan teknisi atau analis.
Penyetaraan kompetensi hasil pendidikan dengan struktur kerja pada bidang keagamaan agak rumit dibandingkan dengan bidang eksak atau prodi sosial di perguruan tinggi umum, yang memiliki struktur keilmuan yang mudah disetarakan. Bidang keagamaan yang selama ini dilaksanakan di PTAI seperti tafsir, hadits, filsafat Islam, akidah, SKI, dan bimbingan masyarakat Islam menghadapi problem dengan struktur kerja yang tak tersedia secara otomatis di masyarakat.
Secara umum lulusan PTAI menghadapi deviasi dan keluar dari rel yang semestinya dengan prodi yang diambil pada saat kuliah, atau dikenal dengan istilah untended consequences. Lulusan prodi KPI (Komunikasi Penyiaran Islam) seharusnya menjadi da’i, tetapi kenyataannya menjadi aktivis LSM, wartawan, atau guru sekolah. Lulusan prodi tafsir/hadits semestinya menjadi mufassir muda, tapi banyak di antara mereka yang keluar dari intended dengan menjadi penyiar radio, penceramah televisi, atau pembimbing haji dan umroh. Meski keadaan ini bukan khas alumni PTAI, karena di PTU menghadapi persoalan yang sama misalnya alumni IPB menjadi bankir, lulusan ITB menjadi wartawan atau aktivis lingkungan hidup.
Alasan kenapa perombakan kurikulum
PTAI masih dapat diperpanjang lagi. Satu hal saja misalnya kebutuhan
Kementerian Agama, dimana PTAI merupakan satuan kerja Kemenag, banyak yang tak
terlayani. Di Kemenag ada Lembaga Tash-hih al-Qur’an, tetapi prodi PTAI tidak
ada yang melayani kebutuhan ini. Contoh lain, lembaga pendidikan Diniyah dan
Pesantren berjumlah belasan ribu, tetapi apakah ada Prodi PTAI yang memenuhi
kebutuhan guru diniyah yang khas itu? Bagaimana manajemen pesantren yang cocok,
apakah tidak bisa disiapkan oleh prodi di PTAI? Masjid berjumlah ribuan,
bagaimana problem umat ini bisa diantisipasi dengan penguatan masjid melalui
pendidikan vokasi di PTAI? Produk halal menjadi isu yang menarik di masyarakat.
Begitu juga persoalan haji dan umrah, Indonesia saat ini menjadi tempat bertanya dan contoh best practice bagi negara-negara Islam. Lagi-lagi, apakah ada prodi atau lembaga di PTAI yang concern dengan tema ini. Jawabannya : tidak ada. Masih banyak kebutuhan Kemenag yang tak terlayani PTAI. Padahal ini ‘ladang pekerjaan’ yang terbuka, tersedia, nyata ada, dan prospektif, tidak kalah dengan profesi lain. Jika diperluas, “pasar keagamaan” ini sesungguhnya bisa digarap secara serius oleh PTAI untuk mendekatkan dan menyetarakan hasil pendidikan di bangku kuliah dengan struktur kerja bidang keagamaan yang khas.
Kenyataan seperti gambaran di atas menjadi PR yang hemat saya harus ada
kebijakan mendasar dan reformatif. Momentum itu sejatinya di hadapan kita.
Regulasi, melaui UU no 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi memberi
keleluasaan pada satuan pendidikan tinggi untuk merumuskan kurikulum yang
khas-distingtif seperti itu. PP 66/2010 sebelumnya dengan tegas memberi ruang
penyusunan dan penetapan kurikulum ada pada perguruan tinggi. Otonomi perguruan
tinggi juga dapat dimanfaatkan maksimal.
Begitu juga persoalan haji dan umrah, Indonesia saat ini menjadi tempat bertanya dan contoh best practice bagi negara-negara Islam. Lagi-lagi, apakah ada prodi atau lembaga di PTAI yang concern dengan tema ini. Jawabannya : tidak ada. Masih banyak kebutuhan Kemenag yang tak terlayani PTAI. Padahal ini ‘ladang pekerjaan’ yang terbuka, tersedia, nyata ada, dan prospektif, tidak kalah dengan profesi lain. Jika diperluas, “pasar keagamaan” ini sesungguhnya bisa digarap secara serius oleh PTAI untuk mendekatkan dan menyetarakan hasil pendidikan di bangku kuliah dengan struktur kerja bidang keagamaan yang khas.