Pardigma Kurikulum Perguruan Tinggi isi dan Perubahannya

Kurikulum baru perguruan Tinggi di Indonesia atau yang disebut Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia atau disingkat KKNI merupakan kerangka penjenjangan kualifikasi kompetensi yang dapat menyandingkan, menyetarakan, dan mengintegrasikan antara bidang pendidikan dan bidang pelatihan kerja serta pengalaman kerja dalam rangka pemberian pengakuan kompetensi kerja sesuai dengan struktur pekerjaan di berbagai sektor. Pernyataan ini ada dalam Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia.

Sangat penting untuk menyatakan juga bahwa KKNI merupakan perwujudan mutu dan jati diri Bangsa Indonesia terkait dengan sistem pendidikan nasional dan pelatihan yang dimiliki negara Indonesia. Maknanya adalah, dengan KKNI ini memungkinkan hasil pendidikan, khususnya pendidikan tinggi, dilengkapi dengan perangkat ukur yang memudahkan dalam melakukan penyepadanan dan penyejajaran dengan hasil pendidikan bangsa lain di dunia. 

KKNI juga menjadi alat yang dapat menyaring hanya SDM yang berkualifikasi yang dapat masuk dan bekerja ke Indonesia. Fungsi  komprehensif ini menjadikan KKNI berpengaruh pada hampir setiap bidang dan sektor di mana sumber daya manusia dikelola, termasuk di dalamnya pada sistem pendidikan tinggi, utamanya pada kurikulum pendidikan tinggi.


Pergeseran wacana penamaan kurikulum pendidikan tinggi dari KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) ke penamaan Kurikulum Pendidikan Tinggi (KDIKTI) memiliki beberapa alasan yang penting untuk dicatat, diantaranya :

a) Penamaan KBK tidak sepenuhnya didasari oleh ketetapan peraturan, sehingga masih memungkinkan untuk terus berkembang. Hal ini sesuai dengan kaidah dari kurikulum itu sendiri yang terus berkembang menye suaikan pada kondisi terkini dan masa mendatang.

b) KBK mendasarkan pengembangannya pada kesepakatan penyusunan kompetensi lulusan oleh perwakilan penyelenggara program studi yang akan disusun kurikulumnya. Kesepakatan ini umumnya tidak sepenuhnya merujuk pada parameter ukur yang pasti, sehingga memungkinkan pengembang kurikulum menyepakati kompetensi lulusan yang kedala man atau level capaiannya berbeda dengan pengembang kurikulum lainnya walaupun pada program studi yang sama pada jenjang yang sama pula.

c)   Ketiadaan parameter ukur dalam sistem KBK menjadikan sulit untuk menilai apakah program studi jenjang pendidikan yang satu lebih tinggi atau lebih rendah dari yang lain. Artinya, tidak ada yang dapat menjamin apakah kurikulum program D4 misalnya lebih tinggi dari program D3 pada program studi yang sama jika yang menyusun dari kelompok yang berbeda.

d) Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) memberikan parameter ukur berupa jenjang kualifikasi dari jenjang 1 terendah sampai jenjang 9 tertinggi. Setiap jenjang KKNI bersepadan dengan level Capaian Pembelajaran (CP) program studi pada jenjang tertentu, yang mana kesepadannya untuk pendidikan tinggi adalah level 3 untuk D1, level 4 untuk D2, level 5 untuk D3, level 6 untuk D4/S1, level 7 untuk profesi (setelah sarjana), level 8 untuk S2,  dan level 9 untuk S3.

e) CP pada setiap level KKNI diuraikan dalam diskripsi sikap dan tata nilai, kemampuan, pengetahuan, tanggung jawab dan hak dengan pernyataan yang ringkas yang disebut dengan deskriptor generik. Masing masing deskriptor mengindikasikan kedalaman dan level dari CP sesuai dengan jenjang program studi.

f)   K-DIKTI sebagai bentuk pengembangan dari KBK menggunakan level kualifikasi KKNI sebagai pengukur CP sebagai bahan penyusun kurikulum suatu program studi.

g) Perbedaan utama K-DIKTI dengan KBK dengan demikian adalah pada kepastian dari jenjang program studi karena CP yang diperoleh memiliki ukuran yang pasti.

Akuntabilitas penyusunan K-DIKTI dapat dipertanggung jawabkan dengan adanya KKNI sebagai tolok ukur dalam penyusunan Capaian Pembelajaran (CP). Secara khusus kewajiban menyusun CP yang menggunakan tolok ukur jenjang KKNI dinyatakan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2013 tentang Penerapan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia Bidang Pendidikan Tinggi pada pasal 10 ayat 4, yakni : setiap program studi wajib menyusun deskripsi capaian pembela jaran minimal mengacu pada KKNI bidang pendidikan tinggi sesuai dengan jenjang.

Bahkan pada ayat yang sama juga dinyatakan bahwa : setiap program studi wajib menyusun kurikulum, melaksanakan, dan mengevaluasi pelaksanaan kurikulum mengacu pada KKNI bidang pendidikan tinggi. Jelas bahwa semua perguruan tinggi di Indonesia yang menyelenggarakan program studi harus mengem bangkan kurikulum dan menyusun CP dengan menggunakan KKNI seba gai tolok ukurnya.

Capaian pembelajaran dapat dipandang sebagai resultan dari hasil keseluruhan proses belajar yang telah ditempuh oleh seorang pembelajar/mahasiswa selama menempuh studinya pada satu program studi tertentu, dimana unsur capaian pembelajaran mencakup: Sikap dan tata nilai, Kemampuan, pengetahuan, dan tanggung jawab/hak. 

Seluruh unsur ini menjadi kesatuan yang saling mengait dan juga membentuk relasi sebab akibat. Oleh karenanya, unsur CP dapat dinyatakan sebagai : siapapun orang di Indonesia, dalam perspektif sebagai SDM, pertama-tama harus memiliki sikap dan tata nilai keIndonesiaan, padanya harus dilengkapi dengan kemampuan yang tepat dan menguasiai/didukung oleh pengetahuan yang sesuai, maka padanya berlaku tanggung jawab sebelum dapat menuntut/mendapat hak-nya. 

Apabila unsur-unsur pada CP tersebut dijadikan bahan utama dalam penyunan kurikulum pada program studi, maka lulusannya akan dapat mengkonstruksi dirinya menjadi pribadi yang utuh dan unggul dengan karakter yang kuat dan bersih.

Dengan perubahan ini diharapkan seluruh perguruan tinggi akan dapat menghasilkan aout put atau lulusan yang memiliki kompetensi yang unggul, mampu bersaing dan dapat menghadapi era globalisasi dengan penuh dedikasi serta berlandaskan keimanan dan ketaqwaan memegang teguh tradisi moral sebagai orang timur.

Sumber : Buku Kurikulum Pendidikan Tinggi Direktorat Pembelajaran Dan Kemahasiswaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan